Sunan Kalijaga merupakan salah satu Wali Songo yang memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Hanya saja, ia memiliki perbedaan yang sangat menonjol dibandingkan dengan para wali lainnya. Salah satu perbedaan tersebut adalah dalam hal berbusana dan juga cara dalam berdakwah.
Dalam hal ini, beliau cenderung mengenakan pakaian berwarna hitam dengan blangkon yang khas dari Jawa. Penampilannya ini menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga termasuk sosok yang sederhana dan berusaha tampil menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.
Selain itu, dalam hal dakwah, beliau seringkali memasukkan ajaran agama Islam pada beberapa tradisi atau kebiasaan masyarakat Jawa. Dalam hal ini, beliau sama sekali tidak mengubah tradisi dan adat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada masa itu. Hal inilah yang membuat dakwah beliau mudah diterima. Selain itu, beliau memiliki karya seni bernuansa Hindu-Buddha.
Perjalanan Sunan Kalijaga Hingga Menjadi Wali
Pada masa itu, Raden Said, nama aslinya, merasa prihatin dengan kondisi masyarakat yang ada di Tuban. Kondisi tersebut terjadi karena adanya upeti yang ditarik dan musim kemarau panjang yang membuat panen menjadi gagal. Kemudian, beliau berinisiatif untuk membongkar gudang makanan di Kadipaten dan membagikannya untuk mereka yang membutuhkan.
Naas, beliau ketahuan dan tertangkap basah oleh penjaga gudang. Setelah kejadian itu, beliau melapor pada ayahnya.
Semasa berdakwah, wali yang berada di Indonesia memiliki metode dakwah yang berbeda-beda dengan tujuan untuk menarik hati dari masyarakat. Setiap wali memiliki hubungan baik, seperti hubungan saudara, murid dan guru dan lainnya. Selain itu, perlu diketahui bahwa rata-rata wali yang ada bukan merupakan penduduk asli dari Jawa.
Berikut ini perjalanan panjang Sunan Kalijaga hingga beliau menjadi seorang wali:
Masa Kecil dan Muda Sunan Kalijaga
Menurut catatan sejarah, nama asli beliau adalah Raden Mas Syahid atau Raden Said. Beliau merupakan seorang putra dari Adipati Tuban yang memiliki nama Ki Tumenggung Wilatika. Namun, dalam sumber lain disebutkan bahwa nama ayah beliau adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatika. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri memiliki beberapa nama lain, seperti Lokajaya, Syaikh Malaya dan juga Pangeran Tuban.
Pada masa mudanya, beliau merupakan seorang yang rajin dan giat dalam mencari ilmu, terutama untuk ilmu agama Islam. Beliau pernah mengaji dan berguru ke beberapa wali lain, seperti Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel. Dalam catatan, beliau memiliki usia hingga 100 tahun. Jika hal demikian benar, maka beliau mengalami berakhirnya kuasa Majapahit.
Selain itu, dalam masa hidupnya, beliau mengalami beragam masa yang berbeda, seperti hidup dalam suasana kesultanan Demak, Cirebon dan Banten. Bahkan, beliau juga menemui masa kerajaan Pajang yang berdiri pada tahun 1546 Masehi dan kerajaan Mataram yang pada masa itu dipimpin oleh Senapati.
Dalam cerita lain disebutkan bahwa beliau turut dan berbaur dalam merancang pembangunan Masjid Agung Demak. Tidak hanya Masjid Agung Demak, dalam rangkai cerita beliau juga turut merancang Masjid Agung Cirebon.
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Pada saat itu, terjadi gagal panen yang merajalela di kawasan Tuban. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya membantu masyarakat untuk mendapatkan makanan. Namun, pemerintah bertindak sebaliknya karena justru menarik upeti besar hanya karena butuh dana pembangunan yang besar.
Melihat adanya kontradiksi tersebut, Raden Said bergerak untuk membantu masyarakat miskin. Beliau mencuri hasil bumi yang kemudian dibagikan pada rakyat jelata yang tidak mampu. Pada malam hari, beliau akan bergerak dan langsung membagikan hasil yang didapatkan kepada rakyat jelata dengan sembunyi-sembunyi bahkan tanpa diketahui rakyat sekalipun.
Seiring berjalannya waktu, penjaga gudang merasa curiga karena upeti dan bahan makanan yang tersimpan di gudang selalu menipis. Akhirnya, si penjaga gudang melakukan pengintaian dan memergoki Raden Said yang sedang mencuri. Ia akhirnya melaporkan kejadian itu pada adipati Tuban, ayah dari Sunan Kalijaga sendiri.
Sang ayah murka dan Raden Said dimarahi habis-habisan. Ia mendapat hukuman tidak boleh keluar rumah. Namun, Raden Said tidak jera. Sepekan setelah hukuman, ia kembali melancarkan aksinya di luar istana. Dalam aksi ini, beliau mengenakan pakaian serba hitam seperti ninja.
Namun, pada suatu ketika, beliau divjebak oleh perampok yang asli. Perampok tersebut melakukan pemerkosaan dan perampokan pada seorang wanita. Ia juga mengenakan pakaian serba hitam. Sama dengan Raden Said.
Saat Raden Said hendak menolong wanita tadi, perampok asli berhasil meloloskan diri. Dengan pakaian yang sama, beliau akhirnya menjadi kambing hitam karena sudah terkepung. Karena kejadian inilah Sunan Kalijaga diusir oleh ayahnya yang sudah merasa malu.
Sunan Kalijaga Berguru Pada Sunan Bonang
Setelah diusir dari Tuban, Sunan Kalijaga tinggal di hutan Jati Wangi. Sekali lagi, ia melakukan aksinya untuk membantu masyarakat miskin. Namun, saat itu, beliau menggunakan nama lain, yakni Berandal Loka Jaya selama tinggal dalam hutan.
Suatu ketika, lewat seseorang berpakaian serba putih dan membawa tongkat yang tampak sangat indah seperti emas berkilauan pada bagian gagangnya. Raden Said merebut tongkat tersebut hingga menyebabkan seseorang tersebut jatuh. Sambil berurai air mata, seseorang tadi bangkit dari jatuh.
Ketika tongkat tersebut berada di tangannya, Raden Said heran karena gagang tongkat ternyata tidak terbuat dari emas. Ia lantas mengembalikan tongkat tersebut pada seseorang tadi yang menangis. Kemudian seseorang tadi berkata bahwa ia bukan menangis karena tongkat, melainkan rumput yang rusak karenanya.
Raden Said merasa heran dengan polah seseorang tersebut. Orang tersebut lantas menjelaskan bahwa ia berdosa karena telah mencabut rumput tanpa sebuah keperluan dan hal tersebut adalah sia-sia. Setelah itu, seseorang tadi mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sunan Kalijaga juga merupakan hal yang sia-sia. Beliau lantas sadar bahwa seseorang yang ia temui bukan orang biasa.
Lantas, Raden Said mengejar dan beliau menyatakan ingin berguru. Namun, seseorang tadi bergeming. Ia memberikan syarat pada Raden Said yakni menjaga tongkat yang ia tancapkan dan tidak boleh beranjak sebelum seseorang itu kembali.
Hingga 3 tahun lamanya Sunan Kalijaga menunggu dan akhirnya seseorang tersebut kembali. Tongkat yang tertancap di pinggir kali –sungai, itu terjaga dengan baik. Orang berbaju putih tadi adalah Sunan Bonang. Setelah itu, Raden Said diajak ke Tuban untuk belajar agama.
Nama Sunan Kalijaga sendiri berasal dari pengalaman yang beliau alami, yakni menjaga tongkat di dekat kali, atau sungai tadi.
Sunan Kalijaga Rindu Pada Ibunya
Setelah bertahun-tahun kehilangan anaknya yang diusir oleh suaminya, permaisuri kehilangan gairah untuk hidup. Ia sering merenung dan terdiam. Terlebih, setelah sang Adipati menangkap perampok aslinya, bertambahlah rasa kecewa dalam hatinya yang sudah mengusir anak kesayangannya.
Sang ibu juga tidak tahu jika Sunan Kalijaga sudah kembali ke Tuban. Hal ini dikarenakan beliau belum singgah ke istana Tuban melainkan singgah terlebih dahulu ke tempat Sunan Bonang. Setelah beberapa waktu, Raden Said akhirnya kembali ke istana dan sang ibu trenyuh dengan perubahan yang sudah terjadi.
Sang ayah kemudian menawarkan posisi kekuasaan pada Raden Said. Namun, beliau bergeming dan menolaknya. Akhirnya kedudukan adipati Tuban diberikan pada cucunya. Raden Said kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan dakwah ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Suatu ketika, saat sedang melakukan perjalanan dakwah di daerah hutan yang lebat, ada segerombolan perampok yang menghadang. Perampok tersebut terkenal sangat tajam. Dengan lembut Raden Said yang bergelar Sunan Malaya mengatakan bahwa ia tidak memiliki harta yang banyak. Namun, perampok tersebut tidak percaya.
Mereka lantas memeriksa bawaan Raden Said dan beliau hanya tersenyum saja. Karena emosi, perampok menyerang Raden Said. Namun, hanya dengan mengibaskan kain panjang, perampok tersebut tersungkur. Mereka marah dan semakin kalap. Mereka lantas mencoba membunuh Raden Said. Namun, ia menggunakan ilmu malih rupa.
Saat pemimpin perampok menusuk Raden Said, ia membiarkan tubuhnya tertusuk. Beberapa pengawalnya ingin melawan dan khawatir. Namun, Raden Said mengatakan bahwa apa yang dilawan oleh perampok tersebut adalah pohon asam.
Setelah kejadian tersebut, para rampok mengetahui bahwa seseorang yang mereka hadapi adalah bukan orang biasa. Mereka sadar lantas berbalik bergabung dengan Raden Said dan menjadi muridnya yang setia.
Istri dan Anak Sunan Kalijaga
Dalam cerita dan sejarah yang beredar, Raden Said menikah dengan Dewi Sarah. Istri Raden Said merupakan putri dari Maulana Ishak. Dalam pernikahannya, beliau memiliki putra dan putri, yakni Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Silsilah Sunan Kalijaga
Secara historis, dalam catatan Babad Tuban, Raden Said adalah seorang Jawa Asli. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa Aria Teja alias Abdul Rahman merupakan seseorang yang berhasil membuat adipati Tuban masuk Islam. Kemudian, ia dinikahkan dengan putrinya yang kemudian lahir Arya Wilatika. Catatan ini diperkuat pula dengan catatan lain yang ditulis dari pihak Portugis.
Dalam catatan yang dibuat oleh Tome Pires, seorang bendahara Portugis yang hidup tahun 1468-1540, penguasa Tuban pada tahun 1500 Masehi adalah cucu dari penguasa Islam Tuban pertama, yakni Arya Wilatika beserta sang putra, yakni Raden Mas Said.
Pendapat lain menyebutkan bahwa berdasarkan keterangan dari penasihat khusus pemerintah kolonial Belanda, yakni Van Den Breng (1845-1927), Raden Said adalah keturunan Arab yang garis keturunannya sampai pada Rasulullah. Sedangkan sejarawan lain yakni De Graff menyatakan bahwa Aria Teja 1 memiliki silsilah dengan sahabat Ibnu Abbas.
Metode Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam pola dakwah yang dilakukan, Raden Said memiliki pola yang tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan oleh gurunya, yakni Sunan Bonang. Paham agama yang dibawa oleh beliau berbasis salaf dan bukan basis sufistik panteistis atau pemujaan semata. Selain itu, beliau memilih kesenian sebagai salah satu media dakwah yang digunakan.
Selain itu, Raden Said yang bergelar Sunan Malaya ini juga sangat toleran dengan adanya budaya lokal dari daerah tersebut. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika langsung harus menuruti apa yang beliau sampaikan tanpa menggunakan pendekatan. Oleh karena itu, pendekatan dilakukan secara perlahan dengan menggunakan tradisi dan adat yang ada di masyarakat.
Raden Said meyakini bahwa nantinya Islam yang sebenarnya akan dipahami dan kebiasaan lama tersebut akan hilang dengan sendirinya. Diantara beberapa media dakwah yang digunakan untuk menyebarkan Islam adalah dengan menggunakan seni ukir, gamelan, wayang dan juga suluk. Ada beberapa lagu ciptaannya yang terkenal, yakni lir-ilir dan gundul-gundul pacul.
Metode yang beliau gunakan terbukti sangat ampuh dan efektif. Berkat strategi dan metode dakwah yang dijalankan, banyak adipati besar di Jawa mengenal dan memeluk Islam, beberapa diantaranya adalah adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Banyumas serta Pajang. Masuknya adipati dalam agama Islam membuat masyarakat ikut terbawa dan masuk Islam secara bersama-sama.
Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaga
Nama Sunan Kalijaga sangat melekat dan menjadi legenda di masyarakat Jawa hingga saat ini. Dalam upaya pendekatannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, beliau menggunakan zikir sebagai sarana yang paling ampuh. Upaya ini juga menjadi media dari dakwah yang dijalankan. Dalam pola dakwah yang dilakukan, beliau kerap kali mengajarkan zikir pada para muridnya.
Saat mengampu dakwah di Tanah Jawa, beliau diketahui memiliki beberapa benda pusaka yang senantiasa menemani beliau dalam kegiatan dakwahnya. Beberapa kalangan mengatakan bahwa beliau memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian yang ampuh dengan sebutan Ilmu Aji Jagat. Namun, hal ini tentu harus digali lebih dalam lagi.
Banyak kalangan mengatakan bahwa wali memang memiliki karomah yang unggul dibandingkan dengan masyarakat biasa. Kesaktian yang dimiliki oleh Raden Said bisa saja merupakan karomah atau keistimewaan yang ada dan melekat pada dirinya.
Namun, kondisi ini tidak lantas membuat Raden Said lupa diri dan sombong. Segala ilmu yang ia miliki digunakan untuk sarana dakwah hingga ke pelosok negeri. Hal inilah yang membuat Raden Said menjadi idola dan banyak masyarakat awam yang menyukai sosok beliau sehingga tertarik untuk mempelajari Islam dan akhirnya memeluk agama Islam.
Menurut cerita yang beredar, Raden Said memiliki beberapa benda pusaka. Beberapa benda pusaka tersebut, yang diyakini dimiliki beliau, adalah Rompi Ontokusumo, Keris Kyai Cerubuk, Api Alam, Batu Bobot, Sendang dan Tongkat Kalimasada. Namun, ada perbedaan penafsiran dari benda pusaka tersebut.
Beberapa kalangan mengatakan bahwa benda pusaka tersebut berwujud benda pada umumnya. Namun, ada kalangan lain mengatakan bahwa benda tersebut adalah simbol saja dan bukan benda secara dhahir.
Peran Raden Said dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa memang bisa dikatakan sangat penting dan vital. Beliau bergerilya ke berbagai pelosok untuk membawa masyarakat pada tatanan agama yang benar. Meskipun banyak rintangan yang dihadapi, termasuk harus terusir dari rumahnya, beliau tidak gentar dan terus berjuang serta berdakwah.
Selain itu, adanya inovasi dakwah dengan cara menggunakan media menjadi hal yang paling diingat dalam sejarah dakwah beliau. Pemikiran beliau tentang dakwah yang harus dilakukan dengan sarana pendekatan menggunakan media yang sudah familiar dengan masyarakat adalah pemikiran yang sangat maju.
Hal ini dikarenakan masyarakat awam cenderung lebih mudah menerima sesuatu hal yang baru ketika mereka merasakan dirinya hadir dan diterima di dalamnya. Namun, meskipun beliau menggunakan beberapa media dalam melakukan dakwah tersebut, esensi dakwah yang mengajak pada kebenaran dan Islam tidak dilupakan.
Beliau sendiri juga mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut, terutama yang tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam, sendirinya akan hilang ketika kesadaran akan pentingnya Islam dan pemahaman Islam yang benar sudah mengakar dalam sanubari.